Lamun
Menghabiskan ganasnya arah. Aku merapat menuju sepi merekareka keinginan yang tertahan rambu bahwa angin tak pernah bersepakat menghantarkan aroma kisah esok.
Di ujung malam. Wajah tegang tertutup cerutu pandangan kosong, nampak asap duka menarinari kuasai letih atas paruh usia yang masih bergumul ketiadaan. Mencumbui angan yang nyata pula kebiadabannya.
Menghabiskan ganasnya arah. Tubuh itu disentak kemustahilan membeli mentari dan menempatkannya lekatlekat di antara temaram, hingga cerutu itu nyaris membakar jari sebelum si jantan berkokok.
-Senayan; 28-07-2011-
JM
Essai HUHI
hidup jose adalah milik jose, seperti hidupku adalah milikku. seperti hidup kalian adalah milik kalian. tapi diam diam aku melihat gerak aneh dari kata kata itu: hidup memang milik kita, tapi bahasa, milik orang lain. milik dunia.
lihatlah kata arah di puisi jose yang muram tapi gagah berani ini – ia masuk ke dunia amorfatinya sendiri. ada putus asa di sana tapi ia tempuh juga keputusasaan yang diironikan dalam jalinan kata katanya yang penuh monolog personal itu. arah itu, bukan semata milik jose. hidup jose memang miliknya, tapi arah itu milik kita bersama. arah mana, kataku, berpikir kepada jose temanku, yang sedang memindahkan dirinya ke dalam puisi. sekali lagi, hidup jose memang milik jose, tapi lihatlah jose telah berbagi, telah membagi dirinya kepada aku dalam puisi itu.
kulihat aku di sana (aku jose yang pindah ke dalam puisi) dan aku mendekat ke aku di sana itu. aku melihat sebuah tualang, perjalanan panjang dengan arah yang tak berarah. menghabiskan ganasnya arah, katanya, sambil kubayangkan aku itu telah berjalan jauh sekali. bukan di arah yang tenang tapi di dunia yang penuh dengan gelombang, sehingga arah itu menjadi dunia ganas yang menelan dirinya. sehingga aku habis oleh arah itu. tapi lihatlah ia begitu berani mengatakannya, menghabiskan ganasnya arah, katanya, sambil kembali kubayangkan aku ini, aduh, aku itu, tidakkah aku dari aku diriku sendiri juga? (hidup memang milik jose, tapi bahasa milik kita bersama, bukan).
di manakah arah sepi itu? aku merapat menuju sepi, katanya. sambil dibawanya sepi dari sesudah ganas di tiap arah itu, ke angin yang tentu saja menggulung kembali sepi sebagai arah itu. lihat, kataku, arah sepi yang hendak dituju oleh aku ini, telah dimakan oleh angin itu. angin itu, jose, di manakah rumahnya? angin tak berumah seperti kau dalam puisi ini: tak berumah. ataukah rumahmu adalah rumah sepi? ataukah sepi itu sendiri adalah rumahmu dan rumahku juga? ada hari esok sebagai rumah kau dan aku. tapi hari esok yang diliputi oleh banyak tanda tanya. aku ingat sapardi, jose, yang berkata pelan pelan untuk dirinya sendiri dalam puisi. “barangkali kita tidak perlu tua dalam tanda tanya”, katanya. tapi kataku dan katamu dalam puisimu ini: barangkali kita memang harus tua dalam tanda tanya. lalu aku ingat lagi novel budi darma, olehnka yang masyhur itu. yang mengutip sajak donne tapi telah lupa konteksnya. hidup kita memang sialan ya, jose, sampai apa yang kita ingat pula pergi dari ingatan kita. seperti kutu donne tadi. ah, hidup ini indah tapi penuh sialan dalam diri kita sendiri, kata jose dalam puisinya ini. mana yang benar, entahlah mana yang benar. kau dan aku menulis saja, seperti tubuh kita sendiri ini: menuliskan saja kisahnya lewat puisi.
sebuah bait puisi telah kau tuliskan dan hasilnya adalah manusia menjadi tua dalam tanda tanya. tua dalam puisi dan tua dalam hidup nyata ini. tapi lihatlah semua orang menjadi tua, jose, bukan kau dan aku saja ternyata yang menjadi tua. semua orang bergerak ke rumah sepinya sendiri. aku ingat ibu dulu: makanlah di rumah jangan makan di rumah orang lain. ibu diam dan mengerlingkan mata indahnya, saat aku bertanya. dia tidak menjawab. saat aku hendak pergi ke sebuah sepi yang lain, di stasiun dekat pasar di kota kecil kami, air mata berlinang di mata ibuku. nak, katanya, ibu tak lagi bisa memasak makanan kamu. air mata kusambut dengan air mata, jose. sebab seperti kata caleste dalam novel camus itu: kita hanya memiliki seorang ibu. dan di sini kamu menyambut air mata dengan bahasa. hasilnya sama juga, air mata. air mata kata dan air mata dari suatu kata: titik air yang jatuh dari kelopak manusia. kau tak menangis, hanya bahasamu saja yang merintih pelan, yang kudengar dari rintihan jiwaku sendiri juga, jose. jose, kau dengarkah? kau di mana kini, jose?
judul puisimu adalah lamun, seperti aku yang kini melamunkan kisahmu dengan banyak arti dari lamun itu sendiri: tapi pun, iakah dia begitu? walau pun kau telah menuliskannya aku tetap juga meraba rabanya dengan tapi sebagai arti dari lamun pertama, yang kini bergerak menjadi lamun ke dua di bait dari baris baris puisimu yang menunjuntai cepat tak lagi ada jedanya. untuk apa, barangkali katamu, toh hidupku juga adalah hidup tanpa jeda. bukankah kau sedang mengarungi arah yang ganas, dan kini kau diam sejenak ke arah yang ganas yang lain. adalah sepi, sebuah keganasan hari yang kadang lebih kejam dari gelombang arah yang memental mental. sepi bisa kadang demikian mematikan, tapi kau penyair, dan kau tak mati karena sepi, sebab lihat sepi demi sepi dari ganasnya arah hari kau punguti. tekun memandangi pasir pasir dari hidup kita sendiri. kau seperti aku jose, yang memunguti sepi ke sepi juga. merekatkannya ke dalam bahasa. menjadi puisi seperti puisi sepimu yang ganas dan mematikan ini. tapi aneh: aku hidup justru dari membaca sepi seperti ini.
puisi berlatar waktu juga: malam. sepi tak kuasa berdiri sendirian, tanpa latarnya – dunia. dunia malam sebagai rumah sepi yang paling sunyi. detak jantung kita sendiri pun, dalam sepi seperti itu, seolah takut memperdengarkan suaranya. dia diam dan penuh misteri terus menerus memompakan darah ke sekujur kita. dia tak berkata tapi darah terus dialirkannya ke segenap tubuh kita, yang kelak menghabiskan darah itu ke dalam bahasa juga. bahasa sepi dari hidup yang sepi. bahasa sepi dari hidup yang penuh darah dalam diri. kau tahu, jose? ah aku yakin kau tahu apa maksudku. kita – kau dan aku, sama sama pemuja sepi dan pasti mengenal sepi dari bahasa yang tak terucapkan seperti kau yang menuliskannya dalam puisi ini. sepi hendak meminta propertinya, karena ia kini keluar dari dalam badan, tak lagi tahan berendam dalam badan. dalam diri yang seperti kata chairil: sepi memagut. (hendak masuk ke ending esai)
Hudan Hidayat
Klik untuk Puisi LAMUN
Ditulis dalam ULASAN PUISI
Tag: Essai, Hidup, Hudan Hidayat