TANPA

•November 25, 2012 • Tinggalkan sebuah Komentar

Tanpa

Ada yang berjingkat gila keluar dari diam yang suam. Tak berbagi, senyap merapatkan kelamin bersama bibir terkatup. Di suatu kenangan begitu halus mengerat napas. Tak bisa tertahan berdalih rindu. Duh! Tubuh sepi merapat memanjang kelok tak bertepi. Mematuk yang seolaholah ada. Dibalik waktu saat tubuh merapat lekat di bibir ranjang kelam. Satu nama disebut. Ingin. Suatu rasa ingin yang tak berkesudahan itu lepas. Yang kembali berkeliat menciptakan persetubuhan. Antara napsu dan daya kesekian kali.

Sebatang rokok setia menuju kebisuan senja. Baranya menyudut meletak gelora, menghangatkan liang. Asapnya lepas dibalik ayunan kelambu, mencari ketinggian pijak ketika puting menegang diremas cemas. Ketanpaan, pipi merona memanggilmu dari kebekapan dengan nafas tertahan. Kebekuan memeluk angin, menyiasati rindu akan ingin yang tak mengalihkan ruang temu, ketika bersenggama sanggup menempatkan benak dan biduk keentahan.

Ada yang berjingkat gila keluar dari diam. Biarkan hening menjebak senggama yang singkat. Lumpuh. Tanpa kamar. Tanpa tubuhmu. Satu nafas lemah. Satu nafas puas. Sedangkan bara sepertinya tak peduli atas waktu dan ruang secara bersamaan.

Adalah aku diam bermasturbasi.


Josephine Maria
Jakarta, 26.11.2012

TATAP

•Juni 22, 2012 • 2 Komentar

Tatap




Lenggang menuju tepi, perempuan senja menatap bular sekeliling. Kelam menari di atas bayang. Bayang tubuh yang seumpama. Seolaholah adalah dirinya memungkinkan pada suatu keadaan berbeda. Ia meraba dingin akan ingin.
Perhitunganperhitungan.
Sebab mengapa. Sebab terjadi.
Sulit kerap terpelihara untuk menjadi sebuah pilihan.

Perempuan itu penganut jalanan. Kurun keentahan dengan mencucuk waktu keraguan. Mengerang kenang sembari mengais masa perawan. Ketika ada desah indah berdandan sajak. Lenggok menanjak tegar di pundak.

Betis kakinya kukuh menompang sebongkah monumen tanpa hikayat. Tanpa meruwat. Hanya sebuah nasib yang hingga kini tersimpan dalam, sedalam kerutan dahi dan kelopak mata dari masa silam yang dibangun dalam diam dengan jarak yang menganga.
Berarunglarung.
Sebab mengapa. Sebab terjadi. Kerinduan datang menelanjang.

Kisah beranak pinak. Adalah aku manatap masa meratap keentahan.



Josephine Maria
Jakarta, 21.06.2012

AKU DI DUA KOTA

•Maret 19, 2012 • 2 Komentar

Aku di Dua Kota

Sudut kota meruncing.
Di tengah padang batu. Celana dalam, kutang dan kelamin berebut teduh. Langit menanti musim, memukul angin karena ruang geraknya penuh sampah. Bau sperma, bau bangkai, bau batu bata yang dibakar. Kau lupa cara menutup kelaminmu sendiri saat menatap tangis tak urung melembabkan kota. Kota tua diam menyudut. Ramping meliuk disetubuhi angin. Ke arah Barat atau Timur? Sedangkan Selatan dan Utara persetan dengan tradisi. Sementara celana dalam, kutang dan kelamin kian gencar menimbun kota. Langit masih galau memukul angin. Memihak musim.

Suara sumbang tuan kota.
‘Angkat rok minimu,’ sumbang pun nyaring melihat betis diigiring angin.‘ikuti perintahku, kita buat kotak kotamu berpagar kata sandi…’ suara dari kolong tempat tidur samping selimut sejajar lubang angin. Gelapnya tanpa pintu terekam segala peristiwa dengan nama dan segenap peran. Kepala tanpa mata, lidah dan telinga. Tubuh tanpa tangan dan kaki. Ragu tak nampak, selimut itu pun yang mengubur tangan dan kaki tuan. Mata, lidah dan telinga terlipat dalam celana dan kutang. Akhirnya menggali lubang sendiri. Dikenang tugu dengan tanggal keramat.

Aku ada di dua kota. Sebelum senja dan sebelum di sini. Biarlah hingga pada batas tepi. Menyudut. Ke arah Barat atau Timur.



Josephine Maria
Jakarta; 18.03.2012

RUANG

•Maret 19, 2012 • 3 Komentar















Ruang tanpa sekat.
Ada tawa mengguyur melalui selangkang beratap anyaman angin. Getar bernyali mengarah jauh dari nafas kamar. Jauh dari bingar tak tik mesin dan tak tuk sepatu. Ruang lembab dengan kelambu liur penada penat. Dinding telinga hanya mendengar tepukan nyamuk. Tak ada aba-aba. Seperti menambal kain percah agar tak berlalu meratap angin. Disampingku, hawa tak bernama meremas landai putingku. Seakan memberi tanda rasa sebelum melayang untuk kesekian. Senggama sepintas yang sepi lekuk.

Jam mengetuk waktu tanpa kenal musim. Tawa menjuntai bait-bait puisi sebelum fajar. Sekat berongga, mengerak kisah beranak cucu hingga lembah menjamur misteri. Lidahku jatuh mengulum isi bibir yang seluas kamar. Liur menitik, titik. Rasa itu dekat, otak dan hati bukan kelamin yang mendekap bayangan rimba. Roboh menunggu dikoyak bahasa seakan melompat-lompat seperti ada api. Pernah napsu berkata; ‘butuh semalam membangkitkanmu, dan akan kembali terulang…’

Kamar, nafas dan lidahku menggagaskan cerita tubuh sepi.



Josephine Maria
Jakarta, 15.03.2012

TENTANG

•Maret 19, 2012 • 2 Komentar

Tentang Sesuatu

Tentang sesuatu.
Menerjemahkan suatu kesimpulan seperti tidak peduli dengan tingkah dan celoteh akutnya kerumunan. Menuju tepi. Di sebuah kurung, malam menuntun gelap menjelma ruang imajinatif perayaan getar kesekian. Akal kita memuai, mengguncang tata terbit, mengancam status. Diantaranya, menafsirkannya dengan keganjilan yang dibangun dari tubuh-tubuh galau kesepian peradaban. Ungkap sebuah hasrat.

Tentang sesuatu.
Seperti memintal angin. Samar meraba dingin, menyemat ingatan memilah waktu yang bisa sekejap menghadirkan rindu. Menafsirkanmu adalah tubuh masa lampau yang dibangun dalam diam dengan jarak menganga. Aku menangkap geram pikiran hingga terjungkal dalam dasar rasa. Dalam ruang dan waktu pemakhluman rindu hadir pada sebuah kejutan. Ketidakpastian. Ketika rindu menjelma peran kenang yang ingin kita terjemahkan dalam dekap keentahan sampai akhir nafas. Demi sebuah kenangan.

Tentang sesuatu.
Membangun kemungkinan. Hidup sepenuhnya kumpulan dari gagasan dengan antrian panjang harap, meskipun harus rela terkapar mengulum senyap keganjilan. Ada cemas terpanggang. Sebuah kisah tak sudah-sudah keluar masuk hingga kepul asap meninggalkan putung rokokku yang mulai merajam ingin. Ada keinginan untuk dimengerti selain senggama. Kita bertemu penuh lenguh, bersejingkat tuntaskan keingintahuan tanpa keterpaksaan dari sebuah syahwat. Sepenuhnya pasrah. Kebetulan yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Akan sebuah ruang temu.




Josephine Maria
Jakarta, 28.01.2012

TANDA

•Maret 19, 2012 • Tinggalkan sebuah Komentar

Kau yang diam, tubuh penuh tanda tanya berupaya gerak dengan keentahan seperti kehilangan ilusi. Kau seperti tak memiliki ada namun menikmati sepi yang bukan kesepian. Derasnya perlawanan menguasai gerak. Berkeliaran menghasut, sejati tak selamanya didapatkan dalam bentuk. Berikutnya, apa yang bisa kau temui selain kehendak yang perlahan menyingkir karena bukan apa-apa. Sebuah genggam mungkin mampu mengguncang diammu.

Kita tak pernah kehabisan takjub yang lalu-lalang dengan latar belakang misteri. Oleh karenanya kita membutuhkan kenang dari jarak pandang waktu yang menjadikan kita saling mengeja, terbata racau kapan kesepian berakhir pekan.

Meski tak kunjung temu. Kau yang diam dengan tubuh penuh tanda tanya. Gagap mengulum bibirku yang mulai keluh mengeluh atas kesepian yang tiada henti.

Tubuh kita pun menanggalkan tanya dari sedemikian rupa tanda yang berserak.



Josephine Maria
Jakarta; 10.01.2012

LAYANG PELAYANG

•Agustus 5, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

: Layang Pelayang

Festival Layang-Layang di lapangan Rampal-Malang
























layang
pelayang
melayang
mengawang
membentang
bayang

diam pelayang,
dalam bayang melukis nyata tertata layang
gauli musim silam silang menyilang
rajuk memanggil angin menembus bathin
ada degup meratap harap angin berpihak bijak
merekam lidah saat kau menyebut gugup namaku.

layang pelayang melayang
benang birahimu meregang tegang
menyusup di antara bulubulu angin dingin
yang telah tercemar memar rindu kita

tenangnya pelayang,
terbang mengangkasa tubuhtubuh perasa
layang melayang pesona berhamburan harapan
aku terlena menggurat siluet di bawah sengit kaki langit
bahwa kita pernah bersenggama menyelamatkan sepi

layang
pelayang
melayang
mengawang
membentang
bayang



—————————————
-Jakarta; 05-08-2011-
Josephine M

Essai Lamun by ; Hudan Hidayat

•Agustus 1, 2011 • 2 Komentar

Lamun


Menghabiskan ganasnya arah. Aku merapat menuju sepi merekareka keinginan yang tertahan rambu bahwa angin tak pernah bersepakat menghantarkan aroma kisah esok.

Di ujung malam. Wajah tegang tertutup cerutu pandangan kosong, nampak asap duka menarinari kuasai letih atas paruh usia yang masih bergumul ketiadaan. Mencumbui angan yang nyata pula kebiadabannya.

Menghabiskan ganasnya arah. Tubuh itu disentak kemustahilan membeli mentari dan menempatkannya lekatlekat di antara temaram, hingga cerutu itu nyaris membakar jari sebelum si jantan berkokok.


-Senayan; 28-07-2011-
JM



Essai HUHI

hidup jose adalah milik jose, seperti hidupku adalah milikku. seperti hidup kalian adalah milik kalian. tapi diam diam aku melihat gerak aneh dari kata kata itu: hidup memang milik kita, tapi bahasa, milik orang lain. milik dunia.

lihatlah kata arah di puisi jose yang muram tapi gagah berani ini – ia masuk ke dunia amorfatinya sendiri. ada putus asa di sana tapi ia tempuh juga keputusasaan yang diironikan dalam jalinan kata katanya yang penuh monolog personal itu. arah itu, bukan semata milik jose. hidup jose memang miliknya, tapi arah itu milik kita bersama. arah mana, kataku, berpikir kepada jose temanku, yang sedang memindahkan dirinya ke dalam puisi. sekali lagi, hidup jose memang milik jose, tapi lihatlah jose telah berbagi, telah membagi dirinya kepada aku dalam puisi itu.

kulihat aku di sana (aku jose yang pindah ke dalam puisi) dan aku mendekat ke aku di sana itu. aku melihat sebuah tualang, perjalanan panjang dengan arah yang tak berarah. menghabiskan ganasnya arah, katanya, sambil kubayangkan aku itu telah berjalan jauh sekali. bukan di arah yang tenang tapi di dunia yang penuh dengan gelombang, sehingga arah itu menjadi dunia ganas yang menelan dirinya. sehingga aku habis oleh arah itu. tapi lihatlah ia begitu berani mengatakannya, menghabiskan ganasnya arah, katanya, sambil kembali kubayangkan aku ini, aduh, aku itu, tidakkah aku dari aku diriku sendiri juga? (hidup memang milik jose, tapi bahasa milik kita bersama, bukan).

di manakah arah sepi itu? aku merapat menuju sepi, katanya. sambil dibawanya sepi dari sesudah ganas di tiap arah itu, ke angin yang tentu saja menggulung kembali sepi sebagai arah itu. lihat, kataku, arah sepi yang hendak dituju oleh aku ini, telah dimakan oleh angin itu. angin itu, jose, di manakah rumahnya? angin tak berumah seperti kau dalam puisi ini: tak berumah. ataukah rumahmu adalah rumah sepi? ataukah sepi itu sendiri adalah rumahmu dan rumahku juga? ada hari esok sebagai rumah kau dan aku. tapi hari esok yang diliputi oleh banyak tanda tanya. aku ingat sapardi, jose, yang berkata pelan pelan untuk dirinya sendiri dalam puisi. “barangkali kita tidak perlu tua dalam tanda tanya”, katanya. tapi kataku dan katamu dalam puisimu ini: barangkali kita memang harus tua dalam tanda tanya. lalu aku ingat lagi novel budi darma, olehnka yang masyhur itu. yang mengutip sajak donne tapi telah lupa konteksnya. hidup kita memang sialan ya, jose, sampai apa yang kita ingat pula pergi dari ingatan kita. seperti kutu donne tadi. ah, hidup ini indah tapi penuh sialan dalam diri kita sendiri, kata jose dalam puisinya ini. mana yang benar, entahlah mana yang benar. kau dan aku menulis saja, seperti tubuh kita sendiri ini: menuliskan saja kisahnya lewat puisi.

sebuah bait puisi telah kau tuliskan dan hasilnya adalah manusia menjadi tua dalam tanda tanya. tua dalam puisi dan tua dalam hidup nyata ini. tapi lihatlah semua orang menjadi tua, jose, bukan kau dan aku saja ternyata yang menjadi tua. semua orang bergerak ke rumah sepinya sendiri. aku ingat ibu dulu: makanlah di rumah jangan makan di rumah orang lain. ibu diam dan mengerlingkan mata indahnya, saat aku bertanya. dia tidak menjawab. saat aku hendak pergi ke sebuah sepi yang lain, di stasiun dekat pasar di kota kecil kami, air mata berlinang di mata ibuku. nak, katanya, ibu tak lagi bisa memasak makanan kamu. air mata kusambut dengan air mata, jose. sebab seperti kata caleste dalam novel camus itu: kita hanya memiliki seorang ibu. dan di sini kamu menyambut air mata dengan bahasa. hasilnya sama juga, air mata. air mata kata dan air mata dari suatu kata: titik air yang jatuh dari kelopak manusia. kau tak menangis, hanya bahasamu saja yang merintih pelan, yang kudengar dari rintihan jiwaku sendiri juga, jose. jose, kau dengarkah? kau di mana kini, jose?

judul puisimu adalah lamun, seperti aku yang kini melamunkan kisahmu dengan banyak arti dari lamun itu sendiri: tapi pun, iakah dia begitu? walau pun kau telah menuliskannya aku tetap juga meraba rabanya dengan tapi sebagai arti dari lamun pertama, yang kini bergerak menjadi lamun ke dua di bait dari baris baris puisimu yang menunjuntai cepat tak lagi ada jedanya. untuk apa, barangkali katamu, toh hidupku juga adalah hidup tanpa jeda. bukankah kau sedang mengarungi arah yang ganas, dan kini kau diam sejenak ke arah yang ganas yang lain. adalah sepi, sebuah keganasan hari yang kadang lebih kejam dari gelombang arah yang memental mental. sepi bisa kadang demikian mematikan, tapi kau penyair, dan kau tak mati karena sepi, sebab lihat sepi demi sepi dari ganasnya arah hari kau punguti. tekun memandangi pasir pasir dari hidup kita sendiri. kau seperti aku jose, yang memunguti sepi ke sepi juga. merekatkannya ke dalam bahasa. menjadi puisi seperti puisi sepimu yang ganas dan mematikan ini. tapi aneh: aku hidup justru dari membaca sepi seperti ini.

puisi berlatar waktu juga: malam. sepi tak kuasa berdiri sendirian, tanpa latarnya – dunia. dunia malam sebagai rumah sepi yang paling sunyi. detak jantung kita sendiri pun, dalam sepi seperti itu, seolah takut memperdengarkan suaranya. dia diam dan penuh misteri terus menerus memompakan darah ke sekujur kita. dia tak berkata tapi darah terus dialirkannya ke segenap tubuh kita, yang kelak menghabiskan darah itu ke dalam bahasa juga. bahasa sepi dari hidup yang sepi. bahasa sepi dari hidup yang penuh darah dalam diri. kau tahu, jose? ah aku yakin kau tahu apa maksudku. kita – kau dan aku, sama sama pemuja sepi dan pasti mengenal sepi dari bahasa yang tak terucapkan seperti kau yang menuliskannya dalam puisi ini. sepi hendak meminta propertinya, karena ia kini keluar dari dalam badan, tak lagi tahan berendam dalam badan. dalam diri yang seperti kata chairil: sepi memagut. (hendak masuk ke ending esai)


Hudan Hidayat

Klik untuk Puisi LAMUN

YANG DIALPHAKAN

•Juli 31, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar












dari bibir
kita pernah meneguk kecup
mengembangkan kuncup rindu
fasih berucap, gigil merasuk tandu
yang kosong dan buntu
hingga lidah itu menjelma belati

pada mata
kita meminjam pandang
yang dibias alir alur pesona
di tepian senja merona
kerling cahaya haus mengeja
di pelupuk bayangan direnggut lena

saat rasa hati
kita berkisah kenangan
atas aroma sepi, sedusedan
bibir mengaduh, mata beradu
tubuh mengucap apa yang tersimpan
dari titipan yang dialphakan

dalam kelam sehitam malam, resah sempat kita desah…




_________________
Jakarta; 01-08-2011
Josephine M

LAMUN

•Juli 31, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

: Lamun



















Menghabiskan ganasnya arah. Aku merapat menuju sepi merekareka keinginan yang tertahan rambu bahwa angin tak pernah bersepakat menghantarkan aroma kisah esok, apakah masih bersedia meminang gairah setelah malam iitu dihempas keletihan memungut suatu persinggahan?

Di ujung malam. Wajah tegang tertutup cerutu pandangan kosong, nampak asap duka menarinari kuasai letih atas paruh usia yang masih bergumul ketiadaan mencumbui angan yang nyata pula kebiadabannya tenggelam begitu saja sebelum menuju tikungan.

Masih menghabiskan ganasnya arah. Kita pun disentak kemustahilan membeli mentari dan menempatkannya lekatlekat di antara temaram. Dan ujung cerutu itu pun nyaris membakar jari sebelum lamun kau rampungkan dan melipat dalam kantong kumal tubuhmu.




————————————-
-Jakarta; 28-07-2011-
JOsephine M

.

•Juli 8, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar




.

malam membuka diri

menelan bayang di rembang petang

molek bergoyang dengan jubah hitam

ada yang datang menantang

umbar dingin hambar merangsang

berkelebatan suram mendedah resah

pawai tubuhtubuh lenguh mencari

cemas meluruh ruang menyisip hening

menggenapi aurat yang telah tergurat

aku mengada dengan tubuh telanjang

membaca diri sebelum kata bersemayam

setelah sekian jerit dan udara berbau sangit

aku dan kau mencacah aib

lewat udara, akankah raib?



———————————-
Jakarta, 31-05-2011
Josephine M

Selingkuh

•Juli 8, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

Selingkuh
















pikiran berlainan kelamin itu hambar
berangkai rasa takjub mudah memudar
dari balik kutang dan celana dalam
terarsir buram
terbentuk kelam
mengusik tubuhtubuh perawan logika

tepatnya kita pecundang biologis
adalah telanjang sekedar strategis
penanda pengubah kecemasan yang miris
rasa dari balik kutang dan celana dalam
terarsir buram
terbentuk kelam
dalam bacin serapah tentang harapan

gaun tipis malam habis dikupas
terburai lepas
menjadi tersangka penafsiran moral
begitu tak layak dikenang sakral
bahwa kelamin penyebab perselingkuhan



————————————
Jakarta, 20-05-2011
Josephine M

Mulut Kecil dan Besar

•Juli 8, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

Mulut Kecil dan Besar

mulut kecil itu hanya sedikit berkalimat

menyudut antara mulut besar yang lihai berkilat

menahan nafas menatap lahannya di gagahi

dipagar angkaangka menjelaskan birahi 

‘kau kelabui pesona malam saat aku sanggup menggagahi birahi dan meruahkan pundimu atas nama pajak’

mulut kecil menjadi pengingat, bahwa ia sebagian penyumpal mulut besar.




——————————
Jakarta, 18-05-2011
Josephine M

Apa Kabarmu, Waktu?

•Juli 8, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar


apa kabarmu, waktu?
geliatmu gemulai menjejak binal. berputar, meliuk, merancang arah. membuatku terjaga dalam musim yang jalang sekehendaknya datang dan pergi.

apa kabarmu, waktu?
desah nafasmu menyusup kelangkang hingga liangliang kelamin.
habis. detak hariku kau lumat tanpa sapa batas hingga gairahku terbata ratap menatap punggungmu menggores kenang. dan di depan, kau tenang melipat rapat kabar itu misteri.

dan kini
aku diketuk sibuk, menekuk dalam waktu dengan suara sengau parau tak terkendali menjajarkan detak waktu yang kian dikebiri peradaban.

apa kabarmu, waktu?

masih terbata mengeja rindu



———————————-
Jakarta,15-04-2011
Josephine M

Luka Cinta Berduka

•Februari 11, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar


: Tumanggung

cintaku naïf sebatas sajak. bertutur riwayat jejakjejak
kabar misteri dukacita. merangkum rasa terbatabata

saat musim berkabut. sapa angin tak lagi berpaut
hening diserang amuk. wajah bengis berkecamuk

kita tak ingin cinta direkam tragedi. menjadi satu agenda trendi
diserbu dendam tubuhtubuh siluman. ayat terbaca menebas peradaun

o… cinta
mengapa kilaumu diujung pisau
segit menghunus bilikbilik surau
tajam mengiris mantra yang parau

o… cinta
apakah wujudmu serupa api
letupkan karma tanpa tepi
kobar membakar hati sepi

o… cinta
dongengmu kerap berakhir tragis
dilumat perkara kaum apatis
ketika cinta dikemas tangis

mungkin cinta naïf sulit diungkap. terbaca gugup tubuh meratap
digurat tanya peradaban biadab. sejak sejarah tak kenal adab

tapi kita tak surut menyebut. menjaga degup senantiasa bersahut
mendekap luka kelam. duka sejarah silam




—————————————–
-Jakarta; 11-02-2011-
JM

Cinta Februari

•Februari 8, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

tak ada yang ingin berhenti melukis cinta. memoles antik namanya
memaparkan misteri denyut yang terekam diam dalam semu

kita tak ingin percintaan terekam diam dalam keluh
tatkala dingin meretakan bibir. memencarkan tangis
mengingat bagai mimpi. melupakannya begitu terlalu
diserbu bulanbulan kemarin yang rawan kalut kemelut

kita tak ingin cinta memamah misteri. memagut bias bulan penanggalan
saat kekasih melambai sayang di februari. menunjuk khusuk ke peraduan

tak ada yang tak ingin berhenti memoles antik cinta
tatkala gerimis memahat gelisah di februari
menggenang kenang timbul tenggelam dukacita
memecut angan. rindu melayut menarinari

kasih bukan hanya milik februari
sayang bila larut menjelma kabut
pudar menyebar dikemas jaman
kembali kita kenang. mendekap tenang


di suatu hari,
kasih percik cahaya hati
sayang gairah terasa lembut
disatu hari kasih sayang
kembali kita kenang…
mendekap tenang.

















‘Selamat Hari KasihSayang’ 
14 Februari


—————————————
-Jakarta; 08-02-2011-
JM

Selamat Datang, Bung!

•Februari 7, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar


aku ingat kali pertama, sapa kita membentuk
kisah Pak Uban pada serial derit pintu gubuk

selamat datang, Bung!

seketika aku terjaga, tatkala angin utara menjalar
menyadur cerita rubaiyat dari punggung layar

mataku kau cukil liar menjajak sajak
runutkan angan kenangan nanar
melucut akal ke belukar nalar

selamat datang, Bung!

lidahlidah cahaya usia
memasuki lorong bawah sadar
memantik jejakmu tak siasia





















‘selamat hari lahir… Bang Ilham Q. Moehiddin’
08 Pebruari….
senantiasa barokah, sehat dan sukses. amin
Gbu




——————————————
-Jakarta; 08-02-2011-
JM


: selamat datang, Bung!
sapaan yang tertera pada blog milik beliau
http://ilhamqmoehiddin.wordpress.com/

Bayangan di Puncak Katedral [membaca bayangan 3]

•Februari 6, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar


di suatu puncak, lembaran bulan melayang menjelma layanglayang, lepas memburai seutas dosa yang merentangkan jarak langit dan bumi ada lahir dan mati. melempar angan, meninggalkan damai surga demi mengalamai dunia. menghayati hasrat, mengadakan negasi surga berada di puncak. itu neraka! tekakku nyaris menuli disumpal kotbahkotbah siang bolong. berat menyeret langkah kita membentang nyata, saat sapa dicium dan dijamah penis bergincu penghuni kastel. nanar hitam membisik pitam ketika nikmat menyulam kabut cerita dari kelangkang malam.

apakah dosa itu berwarna hitam?
pada tubuh yang limbak pernah igaukan kata dari botol wisky untuk meyakinkan aku menghayati keadaan di luar sadar. dan ketika aku setengah sadar terpejam, tak kujumpai neraka dan dosa dalam hitam. luar kepala membungkuk ingatan mencari jarum yang tersemat rimbunan jeram rayuan. apakah dosa ada di antara tubuh yang limbuk kesepian mengerat mimpi. berlanjut kelam merajut kelamin ke kelambu malam? dosa bersanding nafsu. sajak menghambur hanyut ke jamban.

di musim yang sama di lain ruang, lembaran usia bulan satusatu menggantung di ranting. dirayu angin timur, dibelai angin barat, dikecup angin utara dan diperkosa angin selatan. menggigil impas dibelahan katulistiwa. di antara ranting berkerut dan desah daundaun, pernah kujumpai bayang layanglayang tersangkut, naik turun merajut ayat, di bimbing bibir yang perlahan berangsur kering. khayalku mengetuk jangat bumi yang sedang berdandan. barangkali sedang musim semi menanggungkan gaung mimpi perawan di peraduan rawan. samar aku melihat kau termangu sayu serupa patung santo dililit cahaya memencar di puncak katedral. kau berdiri di antara surga dan neraka itu.



——————————————
-Jakarta; 06-02-2011-
JM



klik untuk Berkaca Membaca Bayangan [1] dan Berkaca Membaca Bayangan [2]

Bencana Menggempur Dapur

•Februari 5, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar


[antologi puisi bencana]

berdiri pada senja mengecap hambar
angin menyapa sama menghantar
harum tanah sempoyongan menyebar
dari tungku tua yang dibakar fajar

jalanan licin menggelincirkan kakikaki
aku tersesat jejak atas tapal berdaki
peringatan batu ketika matahari mendaki
menjemput senja dari ketinggian hakiki

liuk
meliuk
sembari menata isyarat
perut pecah terijak jejak yang sesat

angin mengendapendap dari pokok jati
menyergap dan menikam yang lapar hati
burungburung terbang bagai arwah bergaun bayang
sayup melekat cahaya perak bergelanyut di ranting

liuk
meliuk
gontai menunjuk sebab
mata angin pulang melipat lembab



————————————-
-Jakarta; 05-02-2011-
JM

Berkaca Membaca Bayang [2]

•Februari 3, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar


adalah bayangan yang maya karena tersamar diam menusuk mata. mencucuk hidung. bergidik lepas luruhkan sepenggal kisah. aku teringat bayanganku sendiri yang tak sanggup saling bertatap. sayup bergerak ingsut gamang remang seusai jemu bersetubuh terang. jilatanjilatan api mentari menghisap kulit ke coklat tua. menyentuh bibirku yang sedang menikmati mariyuana sembari merayu maya agar nampak dan kembali kugenggam menjadi kawan dalam secawan mimpi.

janganlah kau sembunyikan langkah kesepianku yang mondarmandir sepanjang jalan tanpa rambu. menjadikan aku asing menghayati sendiri di antara seluklekuk arah berlawanan waktu. yang mengendap simpulkan anak bias, membiarkannya tertegun menggeliat katakata tanya. nasib sepertinya beringsut pasrah sebelum tersadar. memadat seputung mariyuanaku yang baru kuhisap selepas maghrib. asapnya sempat melenakan sekitar ketika bibirku dilumat mata uang. bias itu memantul keremangan untuk kesekian kalinya beraroma.

bayanganku yang maya terbaca isyarat setelah melewati sungai waktu. mulai menua tandatandanya menyikap alum. memecut ingatan. gemeretak diam menjamah kelamin. menyingkap selingkup pekat. adakah bayangan itu bisa kau kebiri sebelum subuh, saat azan menyapa? dan kau pun berhamburan dari suatu perselingkuhan. yang kemudian, aku dan kau saling berkaca…




—————————————
-Jakarta; 03-02-2011-
JM



klik untuk Berkaca Membaca Bayang [1]

Wabah Sampah

•Februari 3, 2011 • 4 Komentar




















kata telanjang bertebaran menghantam tubuh gontai dari masa lalu yang menyaksikan seonggok warnawarni sampah di trotoar liar. bergerak diam, keluar dari lubang dubur tuan puan pemilik kota. wabah kata nyatakan sumpah yang sengaja dieluk nyinyir oleh orangorang dalam gedung. menjadikannya idiot. lumpuh di atas tanah sendiri. menjadikannya anomali. mengemis di atas bilik sendiri. mejadikannya debu. mengasap atas pembakaran akta. hilang… hilang… ya sudahlah! menjelma taik, kotorankotoran menghilir ketepian sudutsudut jantung jalang.

pada sepotong usia sejarah tak lagi mengharum dari masa lalu. sanasini  bangkai undangundang membusuk. dibusukan oleh bangkai tikus pengerat lumbung. yang pernah menawarkan dada dan pundak membidang bintang. bintang yang dipungutnya saat mendung menyerang malam. cahaya malam yang memancar gemetar ditusuk kawat duri yang dililit wabah sumpah. menjadikannya anekdot. membias kolongkolong penyair jalanan. agung bergaung di puncak. hilang… hilang… ya sudahlah! menjelma kutukan yang menerban tubuhtubuh suri di balik gedunggedung maut.

dan sejak pagi hingga malam, remahremah sumpah itu hanyalah nisbi di suatu persinggahan waktu. seperti ramburambu jalanan, pelacur dan jembatan penyebrangan.



—————————————–
-Jakarta; 03-02-2011-
JM

Gong Xi Fa Chai

•Februari 1, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar

















di luar angan adalah angin dingin
yang berjalan jauh membumbung tembang
petani tionghoa menyusur penanggalan bulan
pada musim semi dengan menggarap harap

hikayat nian datang meradang
di bawah bulan pergantian tahun
berkelebat dari satu pintu ke pintu
mengitari kealpaan suangshi

kelebat menjadi sejarah perayaan perjamuan
semaraknya kembang api memercik sepi
bergelantungan lampion tanpa spion
menghadang nian shou dalam semalam

shishi meraya menuju purnama
shishi. gong xi fa chai

” Selamat Tahun Baru Imlek 2562″
03 Pebruari 2011

untuk saudara dan sahabatku yang merayakannya




——————————————
Jakarta; 01-02-2011
JM



nian : mitos tionghoa berupa raksasa pemangsa segala
shou : binatang (12 binatang)
suang shi : kertas merah
– shi-shi : merah-merah
gong xi fa chai : selamat dan semoga banyak rejeki (dalam bahasa mandarin)

Gombal Menjadi Tumbal

•Februari 1, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar


hanyalah gombal terkatungterkatung lepas beraroma amis terlentang lapang. membutakan. menulikan sapa sepatutnya bergeming keentahan pasti. tubuhtubuh lena terlahir tayang tumbang di tiap periode. yang tak menyurut semakin membukit kaku. merenggang. gombal berkerut garis tulang menyimpan airmata hingga kering mengerak berat menimpang tampang.

lukaluka menganga tanjak bebas menyembul dari leher berdasi motif kupukupu malam. dasi meningkah diamdiam lantaran sayapkupu mengibas catatan lelaku pada alur meliuk panjang sayapnya. menghadap sebuah taman yang kini telah tandus tertanam biji janji, menyisa rengat bangku tua rebahan gombal yang mengerat sesat.

sudah tak berakhir batas tubuhtubuh berdasi membentang gombal. santer menyapu onggokan taik dari gedung berserat gombal. sebentarbentar singsingkan lengan. sebentarbentar derapkan langkah. sebentarbentar rapatkan barisan. sebentar yang sebentar akhirnya saling menelanjangi diri. gombal menyeka dan menyelimuti tubuh gedung. gombal dijadikannya tumbal.



————————————
-Jakarta; 01-02-2011-
JM

Gila Menggeliat Geliat [sajak merangkak malam]

•Februari 1, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar















begitulah tubuh genapi malam dalam persekutuan:
denting sunyi yang menghempas desah
kerjap mata yang mengemas degup
rekam telinga yang meremas gairah
rekat bibir yang memulas bahasa
gelitik jemari yang meremas jail

begitula tubuh menata gulita dengan hasrat :
sunyi yang mengutuk derik kelamin
mata yang tersangkut puting dada
telinga yang merenggut bilik perawan
bibir yang bergelanyut baitbait puisi
jemari yang menunjuk liar sekujur

begitulah kita menggenapi malam dengan persetubuhan. dengan menyusun kabut melipatnya dalam sepotong malam.
aku gila dan kau tergilagila ketika tubuh sepi kita menggila geliat dalam jamban malam.



————————————–
-Jakarta; 31-01-2011-

Malu Kemaluan [sajak merangkak malam]

•Januari 27, 2011 • Tinggalkan sebuah Komentar















di pucukpucuk malam
saban jalang menjelang
di temani angin telanjang
melintas lengkung kelangkang
menuju dingin, payudara menjulang

sepanjang lembah,
mereka mengiris tangis tipistipis
meluruskan nasib pada batang penis
menitahkan erotis bagian sejarah

tubuhtubuh binal menghimpit ruang urat
melumat bibir tuan yang memamah taurat
di atas podium kata berloncatan dari kemaluan
satusatu mengendap beku dalam jamban

sunyi berbaitbait mengendus kamar
menusuk vagina yang menanti di amar
menghayati keluasan senggama, saling merambah
menjilat rerimbunan pinggul yang rendam gairah
bergelak, hingga semak tersibak, bebukit basah


aku memetik kuncup  ilalang kering
menyematkannya di tiap sajak agar tak usang




—————————————-
-Jakarta; 27-01-2011-
JM